Seperti datangnya mentari di pagi hari yang memberikan harapan baru
bagi setiap insan, begitulah aku berharap dia datang membawa sinar kepastian.
Berharap kedatangannya seperti kesejukan embun yang membasahi dedaunan, meneduhkan
hatiku yang telah lama gersang dalam penantian. Aku ingin bercerita banyak
seperti riangnya burung-burung yang berkicau di awal hari. Ternyata kudilambung angan-angan, semua hanya
bermain-main dalam impian. Harusnya hadirnya seperti mereka menyambut hari, penuh
kebahagian.
Aku terlanjur bahagia mendengar kabar datangnya, sehingga aku lupa
bahwa tidak semua kedatangan akan membawa kebahagiaan. Penuh harap dalam do’a
bahwa asa akan menjadi nyata. Ternyata hampa! Bukankah hampa berarti kosong dan
kosong berarti tiada?
Ya! Saat asa melambung menyentuh atap pengharapan, maka ketika ia tidak
berhasil menyentuh ruang kenyataan seperti terjatuh ke dalam jurang yang penuh
kerikil yang melukai. Berlebihan nampaknya, tapi itulah adanya.
Aku menari-nari bersama rasa bahagia, tak tersadar kemudian langkahku
terseok pada kecewa. Apakah aku harus menyalahkan? Tidak, aku hanya mencoba
menerima seperti biasanya. Apakah aku marah? Ya, aku marah pada diriku yang
terlalu bodoh menyerahkan diri pada asa yang tiada pasti. Tapi kini aku telah
“memaafkan”.
Berdamai dengan keadaan, meski menyisakan luka trauma yang mendalam.
Tapi aku yakin waktu akan menyembuhkannya, entah esok atau lusa…biarkan waktu
pergilirkan segalanya. Berpegang pada Sang Penggenggam jiwa, kuharap luka akan
menjadi bahagia.
Lutfah
0 komentar:
Posting Komentar